Cerutu, Eh...Cigar van Java Itu, Hmmm...
DILINTING: Pada tahap pelintingan, pekerja menggunakan alat untuk melinting tembakau sesuai ukuran masing-masing jenis cerutu, ada yang dalam bentuk lintingan kecil ada pula yang besar.(72 ) | |
Dalam keseharian, bangsawan keraton juga menjadikan cerutu sebagai salah satu klangenan. Tanpa mengisap cerutu sspertinya ada sesuatu yang kurang. Di Kerajaan Inggris, misalnya, sebagian kaum ningrat menjadikan cerutu bukan hanya sebagai kebutuhan tetapi juga life style, gaya hidup.
Tak usah jauh-jauh ke negeri seberang, di negeri yang sedang menderita krisis ini banyak kalangan mulai menjadikan "rokok" yang terbuat dari lintingan daun tembakau asli tanpa campuran apapun itu sebagai bagian hidup sehari-hari.
"Memang, saat ini cerutu mulai digandrungi anak-anak muda, selebriti, profesional, dan pejabat kelas menengah ke atas," ujar Managing Director PD Taru Martani Yogyakarta, Bimo N Wartono MBA.
Dia menyebut sejumlah nama penikmat cerutu, antara lain Sri Sultan Hamengku Buwono X, Hermawan Kertajaya, Wali Kota Yogyakarta Heri Zudianto, pengusaha besar YW Junardy, kerabat Keraton Yogyakarta KGPH Hadiwinoto, dan Dhani Achmad.
Taru Martani merupakan salah satu dari sedikit pembuat cerutu di Indonesia yang namanya sudah sedemikian kondang di dalam maupun luar negeri. Bahkan di Belgia, Netherland, Luxemburg produk Taru Martani sangat dikenal. Barangkali karena ikatan emosional terhadap negeri ini pada masa penjajahan yang menjadikan adanya keterkaitan batin tersebut.
Menurut buku Taru Martani Hostory and Heritage, perusahaan itu berdiri tahun 1918 berlokasi awal di daerah Bulu, Jalan Magelang. Namun pada tahun 1921 pindah ke Baciro di Jalan Argolobang No 2 A. Pada waktu itu namanya NV Negresco.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 perusahaan diambil alih Pemerintah Jepang dan berganti nama menjadi "Jawa Tobbaco Kojo". Dari situ produksi mulai ekspansi tidak hanya cerutu bermerek "Momo Taro" tapi juga rokok putih "Mizuho" dan "Koa".
Tahun 1945 saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya, nama itu diganti lagi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi "Taru Martani", artinya daun yang menghidupi. Produknya berubah nama menjadi "Daulat" dan "Abadi". Sayangnya pada tahun 1949 diambil alih lagi oleh Negresco.
Kota Besar
Gaya hidup bercerutu di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, Riau, Batam, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya, menurut pengamatan Bimo mulai berkembang. Peningkatannya termasuk cukup pesat, tetapi dia tidak bisa menyebut angka pasti. Hanya saja 1/3 cerutu produk Taru Martani berpasar di dalam negeri.
Sejak pertama berdiri sampai sekarang produk pabrik tersebut terkenal dengan sebutan "Cigar van Java". Banyak bule terutama pada musim liburan mendatangi pabrik sehingga Bimo lantas menggagas agar Taru Martani bisa menjadi salah satu objek wisata di Yogyakarta.
Kecuali para penikmat, dalam istilah Jawa nggathok, yang mengunjungi pabrik ada pula penikmat kelas pemula. Bermula dari mencoba-coba akhirnya jatuh hati, seperti pepatah "tak kenal maka tak sayang".
"Kami menyediakan produk untuk pemula yang harganya sangat terjangkau, bahkan ada produk tembakau untuk tingwe alias ngelinting dheweterutama masyarakat di pinggiran," papar Bimo sambil tersenyum.
Laki-laki tinggi, besar dengan kumis dan jenggot menyambung tersebut mengungkapkan untuk cerutu dalam negeri dan ekspor berkualitas ada beberapa, Ramayana dengan jenis antara lain Ramayana Corona, Super Corona dan lainnya. Produk berikutnya Adipati yang juga ada beberapa macam. Ada lagi Borobudur, Mundi Victor dan Senator.
Dia menyebutkan, Sultan HB X misalnya, sangat menikmati Adipati, Heri Zudianto cenderung memilih Mundi Victor. Untuk kelas pemula bermacam-macam ada yang menyukai Ramayana, Borobudur maupun senator.
Untuk memenuhi keinginan masyarakat pinggiran Taru Martani menyediakan tembakau irisan dengan harga sangat terjangkau mulai dari Rp 1.750/bungkus. Nelayan di pesisir sangat menyukai produk tersebut sebab rasa dan aromanya khas, murah pula.
Di Yogyakarta, sejumlah mahasiswa mulai menjadi penikmat pemula. Agung, mahasiswa sebuah PTS mengungkapkan baru beberapa bulan menyenangi mengisap cerutu. Mula-mula hanya ikut teman-temannya tapi kemudian mencoba menjadi penikmat.
"Mengisap cerutu tidak seperti merokok bisa satu atau dua bungkus sehari, paling satu batang cerutu untuk sehari paling banyak tiga, itu saja rasanya sudah hmmm..." ujarnya sembari mengisap cerutu Borobudur yang harganya tidak terlalu mahal.
Diakuinya image masyarakat tentang cerutu memang masih untuk kalangan menengah ke atas. Namun sebenarnya ada produk-produk tertentu yang bisa terjangkau dari sisi keuangan. Banyak di antara produk Taru Martani di bawah Rp 30.000.
Namun Bimo yakin satu saat, bahkan sekarang sudah mulai, penikmat cerutu akan semakin meningkat seiring dengan perkembangan gaya hidup. Tak hanya di kota-kota besar tapi juga di pinggiran. Ingin mencoba? Untuk pemula saran Bimo berhenti merokok dulu sekitar dua-tiga bulan baru kemudian mengisap cerutu.
"Anda baru akan benar-benar menikmati cigar van Java setelah beberapa lama menghentikan rokok dan menggantinya dengan cerutu," tuturnya.
Gaya hidup bercerutu juga direspons oleh PT Djarum melalui produk cerutu Dos Hermanos. Cerutu ini membidik segmen ekspartriat (pekerja asing) di Indonesia. Selain itu, kalangan eksekutif mapan di Indonesia juga menjadi target pemasaran produk yang sebelumnya lebih banyak untuk pasar ekspor tersebut. "Pasar ekspor khususnya Amerika Serikat saat ini memang sedang sepi. Karena itu, kami akan menggenjot pasar lokal," kata Marketing Officer Nugroho Widjaja saat melakukan demo pembuatan cerutu di Hotel Patra Jasa, beberapa waktu silam.
Menurut dia, pasar dalam negeri sangat berpotensi untuk pemasaran produk tersebut. Sebab, selama ini segmen produk cerutu masih belum banyak tergarap. "Memang ada produk serupa, tetapi sebagian besar produk impor. Karena itu, kami yakin produk ini akan banyak diserap pasar," ujarnya optimistis.
Pada saat itu Area Manajer PT Djarum Prijanto Juwono mengatakan, menghisap cerutu memang belum banyak dijumpai di masyarakat. Produk itu dikenal sejak Christoper Columbus menginjakkan kaki pertama kali di Cuka pada 1492. Kini cerutu dikonsumsi tokoh-tokoh terkemuka dan selebriti dunia. Bahkan, tren perilaku bercerutu menjadi simbol dan lambang status yang menempatkan konsumennya pada tingkat kehidupan sosial tertentu. "Jadi, tak mengherankan jika PT Djarum memopulerkannya di Indonesia dengan merek Dos Hermanos.
Malah produknya itu dipasarkan di kota-kota besar Indonesia termasuk Yogyakarta, Solo, dan Semarang sejak 1999 dan dijual di hotel-hotel berbintang.
Semula perusahaan rokok itu memproduksi long filter cigars untuk ekspor. Untuk keperluan itu dikirimkan beberapa personel melakukan studi di Honduras dan Amerika Serikat. Hasilnya, produksi cerutu itu diluncurkan 1997. Karena kualitas yang baik, cerutu buatan Djarum tersebut diterima luas di AS termasuk Belgia, Belanda, Australia, dan negara-negara Asean. Hanya, khusus Asean, masyarakatnya cenderung memilih short filterdengan merek Gold Seal dan kini mulai dipasarkan di dalam negeri. Apakah Anda juga sudah beralih ke cerutu? (Agung PW-72)
http://www.suaramerdeka.com/harian/0310/12/nas6.htm
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.